jalan braga



Menyusuri jalan Braga di kota Bandung, Jawa Barat, bagai ziarah ke masa pemerintahan kolonial Belanda. Jalan yang namanya mirip dengan nama kota  di utara Portugal itu merupakan daerah konservasi budaya. Menurut “Kuncen Bandung” almarhum Haryoto Kunto, kata Braga berasal dari bahasa Sunda “Ngabaraga” yang artinya bergaya, nampang, atau mejeng. Braga waktu itu memang menjadi the place to see and to be seen. Ruas jalan yang tak terlalu panjang itu, tempo doeloe, menjadi tempat rendezvous sambil jalan-jalan dan belanja. Sebab kala itu di kota Bandung, Jalan Bragalah satu-satunya tempat shopping paling bergengsi.

Dari peninggalan-peninggalan sejarah yang masih ada, kita bisa tahu bahwa di jalan Braga pernah dibangun gedung-gedung berarsitektur art deco, seperti gedung Bank Dennis, gedung toko Onderling Belang, di sebrang jalan gedung bioskop Majestic, dan viaduct; karena lalu lintas dari Landraadweg (mungkin sekarang jalan Pengadilan?) selalu dipenuhi delman (kretek) yang menanti kereta api lewat dari Setasion Bandoeng atau kereta api dari arah timur. Kemudian viaduct itu menghubungkan jalan Parapatan Pompa (sekarang jalan Suniaraja) dengan jalan Braga. Dulu jalan di jalan Braga ini buntu, namanya Gang Effendi. Lalu jalan di samping penjara Banceuy, yang sebelumnya adalah jalan kampung, dibikin tembus sampai ke jalan Braga di jalan Naripan. 

Konon, pembuatan jalan ini terkait dengan pembangunan jalan Anyer-Panarukan oleh Daendels pada tahun 1808-1811 dan politik tanam paksa tahu 1830-1870. Pada tahun 1856, saat Bandung menjadi ibu kota Karesidenan Priangan, beberapa rumah warga Eropa dibangun di sepanjang jalan yang masih terbuat dari tanah. Sedangkan rumah-rumah lainnya masih beratapkan ijuk, rumbia, atau ilalang. 

Hingga tahun 1874, hanya terdapat 6-7 rumah dari batu di Jalan Braga. Sebelum tahun 1882 Jalan Braga diberi nama Pedatiweg, dengan lebar sekitar sepuluh meter, sebagai penghubung Groote Postweg (Jalan Raya Pos/sekarang Jalan Asia-Afrika) dengan Koffie Pakhuis (Gedung Kopi) milik Tuan Andries de Wilde (sekarang menjadi Balai Kota Bandung). 

Pada  tahun 1882 seiring dengan pendirian Tonil Braga, Asisten Residen Bandung, Pieter Sitjhoff, mengganti nama Pedatiweg menjadi Bragaweg. Waktu itu jalan diperkeras dengan batu kali, dan lampu-lampu minyak digunakan untuk penerang jalan. Ketika jalur kereta api Batavia-Bandoeng dibangun pada tahun 1884, ujung Bragaweg yang terletak dekat pusat kota telah berkembang pesat, sedangkan bagian utaranya masih berupa hutan karet. Ada juga pendapat lain mengatakan, sebenarnya nama Braga sudah dipakai pada tahun 1810 dan dipopulerkan pada tahun 1887 oleh Tonil Braga.

Perkembangan Bragaweg dipicu oleh berdirinya toko kelontong De Vries. Toko yang menjual kebutuhan sehari-hari ini banyak dikunjungi petani Priangan keturunan Belanda yang kaya raya (Priangan Planters). Keramaian De Vries membuat kawasan di sekitarnya ikut berkembang sehingga berdiri hotel, restoran, bioskop, dan bank. 

Akhirnya, Bragaweg berkembang menjadi daerah pertokoan terkemuka di seluruh Hindia-Belanda. Orang-orang onderneming (perkebunan) di sekitar Bandung dengan para pribumi, mojang geulis (gadis cantik) dan jajaka kasep (jejaka tampan) biasa bergaul dan berakhir pekan di Bragaweg. 

Tahun 1900, penggal jalan Gereja dan jalan Braga mulai diaspal. Jalan Bragapun menjadi daerah pembangunan yang pesat. Pada tahun 1906 dibuat peraturan tentang standar bangunan toko di jalan Braga, seperti tipe bangunan gaya barat yang tadinya  terbuka diubah menjadi bangunan perdagangan tertutup. Bentuknya bervariasi, mulai dari langgam klasik hingga arsitektur modern. 

Sejarah modern jalan Braga, yang kemudian sangat populer terutama karena keasriannya, dimulai pada dekade 1920-1930-an, ketika kawasan itu menjadi pusat pertokoan eksklusif yang hanya menjajakan barang-barang berkelas. Konsep ini dicetuskan oleh wali kota Bandung saat itu. B. Coops yang menginginkan Bragaweg menjadi pusat pertokoan bergaya barat di Nederland-Indies.

Jalan Braga saat itu semakin terkenal, tidak saja di Hindia-Belanda tetapi juga di luar negeri sebagai satu-satunya tempat untuk menunjukkan life style (gaya hidup), sehingga dijuluki “Parijs van Java” oleh warga Eropa yang bermukim di Hindia-Belanda. Mereka menjadikan “Parijs van Java” sebagai pusat kegiatan politik, intelektual, kesenian, budaya, hingga hiburan, dan rekreasi. Sampai sekarang, Bandung tetap menjalankan fungsi-fungsi tersebut. 

Sejarah mengungkapkan bahwa, kota Bandoeng “tempo doeloe” terkenal sebagai “Parijs van Java” pertamakali pada sekitar tahun 1920-1925. Ketika itu, kota Bandung sedang giat-giatnya dibangun menjadi pemukiman yang indah dan lengkap dengan sarana untuk memenuhi kebutuhan warganya. Warga Eropa yang tinggal di Bandung tetap mempertahankan suasana lingkungan kehidupannya di tengah-tengah masyarakat pribumi, baik rumah tinggalnya, gaya hidup, menu makanan, maupun cara berpakaiannya sehari-hari.

“Bursa Tahunan” (Jaarbeurs/Pasar Malam) pun mulai diadakan di sebuah komplek di jalan Aceh, dengan berbagai macam acara dan tontonan, seperti teater sandiwara dan musik yang diselenggarakan setiap tahun pada bulan Juni-Juli. 

Di tempat lain, jalan Bragapun terkenal sebagai pusat belanja dan tempat memajang pakaian model terbaru dari Paris, di jalan ini juga sering diadakan pertunjukkan kesenian setiap malam tertentu. Mungkin karena suasana kota Bandung waktu itu sangat gemerlap dengan suasana ke-Eropaannya, baik di siang maupun malam hari, orang jadi menyebutnya sebagai kota Paris dari Jawa (Parijs van Java). 

Tetapi Haryoto Kunto menjelaskan, julukan “Parijs van Java” bukan untuk menunjukkan  keindahan dank emodernan seperti di Paris, melainkan lebih pada kecantikan dan kemolekan mojang-mojang Priangan, yang mirip dengan kehidupan dan kejelitaan wanita-wanita di Paris. 

Begitu juga dengan istilah “Kota Kembang”, bukan berarti di kota Bandung banyak bunga, melainkan banyaknya mojang-mojan geulis (gadis-gadis cantik) di kota Bandung yang diibaratkan kembang wangi dan indah. 

Pada tahun 1937-1939, Jalan Braga semakin ramai, seperti Fifth Avenuenya Bandoeng, sangat eksklusif untuk orang-orang Belanda yang berbelanja maupun yang makan-minum di Maison Borgerijen (sekarang Bandung Permai). Seiring terjadinya Perang Dunia ke II tahun 1942, pamor Jalan Braga merosot. Menjelang Konferensi Asia-Afrika tahun 1955, bangunan-bangunan di jalan Braga dipercantik. Jalan yang menjadi salah satu judul lagunya Habab Mustapha inipun hidup kembali dan meriah.